Jumat, 04 Desember 2020

Issues : Plastic and Energy

Problematika tentang sampah plastik, energi yang salah satunya  listrik, dan upaya pemeliharaan lingkungan semakin hari semakin santer terdengar. Pertama hal yang akan kita bahas adalah pencemaran sampah plastik. Seiring dengan bertumbuhnya jumlah penduduk bumi, sampah-sampah sisa hasil konsumsi pada kehidupan sehari-hari terus meningkat. Plastik menjadi suatu kebutuhan tersendiri karena sifatnya yang praktis dan industri plastik pun berkembang dengan pesat.  Kita tanpa sadar menggunakan plastik secara mudah dan membuangnya ke tempat sampah ketika sudah selesai menggunakan atau memanfaatkannya. Hal tersebut memang terlihat sepele namun ketika seluruh manusia di bumi melakukan hal yang sama maka dapat dibayangkan berapa banyak sampah yang terbuang begitu saja. Fenomena sampah plastik yang mencemari daratan bahkan lautan menarik para ilmuwan untuk mengkaji hal tersebut secara lebih luas lagi. 

Pada tahun 2017, tercipta sebuah film dokumenter yang berjudul “A Plastic Ocean”. Film ini menceritakan situasi nyata tentang betapa sampah plastik yang mengapung di lautan luas berdampak pada ekosistem laut beserta biota di dalamnya. Salah satu yang menjadi fokus salah satu ilmuwan kemaritiman adalah blue whale atau paus biru yang berukuran raksasa hingga panjangnya dapat mencapai 30 meter atau setara dengan panjang pesawat maupun 3 buah bis yang disejajarkan. Dalam beberapa tahun terakhir muncul kasus-kasus paus biru yang terdampar di daratan sekarat dan mati dengan kesakitan luar biasa akibat menelan plastik yang mengapung di habitatnya. Paus biru mampu menampung sekitar 75.000 liter air ketika mulutnya menganga. Oleh karena hal tersebut, bukan tidak mungkin ketika paus sedang mencari makanan, sampah akan masuk bersamaan dengan air laut yang juga masuk ke dalam mulut paus dan terus masuk ke dalam perutnya. 

Sampah yang terdiam di perutnya seperti bom waktu yang tinggal menunggu waktu untuk bekerja. Senyawa kimia yang berbahaya akan terus menggerogoti tubuh paus sampai sekarat dan mati. Dalam film “A Plastic Ocean” juga dijelaskan bagaimana sampah dari daratan dapat sampai ke lautan bebas. Penelitian di  Perancis dalam kedalaman 354 meter ditemukan sampah kain yang tertimbun di dasar laut. Setelah itu, dikirimkan alat deteksi menuju kedalaman 1600 meter. Alat tersebut merekam adanya tumpukan botol plastik bekas minuman yang berserakan di dasar laut. Dalam kasus lain di Texas, sampah dari darat yang terbuang atau terbawa ke dalam arus sungai akan bermuara ke laut dan akan terus terbawa gelombang ombak hingga ke samudera. Plastik-plastik yang terombang ambing di lautan awalnya berukuran besar, namun setelah terkena tekanan suhu, ombak, dan sinar matahari, plastik akan hancur menjadi serpihan kecil. Serpihan kecil inilah yang akan membahayakan biota laut yang mengira bahwa serpihan sampah plastik tersebut sebagai makanannya. 

Ketika berkunjung ke China, pada salah satu tepi pantainya tercecer banyak butiran silikon dari container yang terbawa badai beberapa waktu sebelumnya. Kemudian, beberapa ikan diambil sebagai sampel untuk melihat apakah mereka ikut menelan silikon tersebut. Hasilnya, dalam satu perut ikan yang dibedah terdapat 5-8 butir silikon. Segala upaya dilakukan oleh beberapa ilmuwan dengan menciptakan teknologi baru berupa alat penghancur sampah yang mampu menghancurkan sampah ukuran besar menjadi serbuk. Selain itu, pemerintah di berbagai negara berupaya menerapkan sistem pemilahan sampah menjadi beberapa klasifikasi berdasarkan jenis materialnya seperti kaca, kertas, plastik, dan lain sebagainya. Namun, upaya tersebut belum diterapkan oleh banyak pihak dikarenakan oleh kurangnya kesadaran penduduk bumi. Ketika ada teknologi dan kebijakan, namun tanpa kesadaran semuanya akan berjalan percuma. 

Kita beralih pada pembahasan kedua tentang energi listrik. Listrik merupakan kebutuhan dasar penduduk bumi untuk mendukung aktivitasnya. Pada tahun 2050 diperkirakan penggunaan energi listrik sedang berada pada puncaknya dan tahun 2030 kebutuhan akan listrik juga diprediksi akan meningkat pesat. Padahal, penggunaan listrik kita dalam sehari-hari sebetulnya menghasilkan emisi karbondioksida yang dilepaskan ke udara menuju atmosfer. Energi listrik di Indonesia sendiri 60% didapatkan dari pembakaran batu bara, sebesar 50% dari PLTA, 12% energi baru, dan 1% tenaga surya. Pada saat ini, untuk efisiensi energi listrik, perusahan produsen listrik mulai menggunakan Solar PV yang didapatkan dari luar negeri terutama China selaku pemasok besar.  Untuk mencukupi kebutuhan penduduk Indonesia, PLN berencana untuk  membangun 16 GW untuk 10 tahun kedepan dengan menggunakan Solar PV 2.2 GWp (14%).  Selain itu, Indonesia juga berkomitmen untuk mengurangi emisi karbondioksida dengan target mencapai 23% di tahun 2025 dan 29% di tahun 2030. 

Teknologi semakin digali untuk menghasilkan renewable energy guna terciptanya efisiensi dalam penggunaan energi listrik. Sekarang energi listrik dari panel surya semakin menjadi fokus untuk dikembangkan. Pasalnya, di negara-negara lain tenaga surya sudah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat pada suatu negara pada siang hari. Pembangun Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Indonesia masih berada pada kapasitas 200 mega watt yang jauh dari kapasitas negara lain. Kemungkinan di Indonesia PLTS tidak dapat berjalan optimal karena beberapa faktor, salah satunya adalah biaya yang relatif mahal. Padahal PLTS dapat menjadi alternatif untuk persoalan energi listrik yang sebagian besar masih mengandalkan batu bara yang merupakan sumber daya tak terbarukan. Keuntungan lain yang didapat ketika menggunakan panel surya yaitu menurunkan tagihan dari PLN bahkan hingga mencapai 43%. 

Terkait isu yang telah dijabarkan di atas dalam sudut pandang pemeliharaan lingkungan, alternatif yang ditawarkan cukup aman dan dapat diusahakan. Alternatif berupa pengolahan sampah melalui alat penghancur dan kebijakan pemilahan akan membantu mengurangi sampah yang akan bermuara ke laut. Sehingga, sampah-sampah tersebut terkoodinir dengan baik dan dapat dimanfaatkan kembali untuk beberapa jenis material yang dapat didaur ulang atau digunakan kembali. Untuk energi listrik, menciptakan energi baru cukup ramah untuk lingkungan dan sangat mendukung upaya pemeliharaan lingkungan. Hal tersebut dikarenakan akan mengurangi emisi yang terlepas ke udara sehingga tidak memperparah kondisi pemanasan global yang telah terjadi selama ini. Pemanfaatan tenaga surya akan mengurangi eksploitasi batu bara yang akan membantu mencegah kelangkaan Sumber Daya Alam (SDA). 


Penulis :

Zhafira Rory Ramadhani 

1021710078 

Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI)

Source:

Film : A Plastic Ocean (2017)

Webinar “Solar PV Customer Adaption, Technology and Business” Pada 04 Desember 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar