Kamis, 20 Januari 2022

Psy-Story (Day 1)

Sisil tiba-tiba menangis. Tak sengaja terlintas dalam benaknya tentang keinginan ibunya. Ibunya seringkali merayu Sisil untuk mencoba kesempatan mendapatkan pekerjaan yang menurut ibunya menjamin masa depan anaknya. Tapi, tunggu dulu. Sisil merasa mempertanyakan sebuah hal yang ia rasa sedikit janggal, “Pekerjaan itu benar mimpiku atau mimpi ibuku?.”

Jauh sebelum ini terjadi, sebetulnya Ibu Sisil memang beberapa kali menyampaikan tentang mimpinya yang tidak pernah tergapai. Wajar saja, Ibu Sisil menikah di usia sangat muda. Ya, 21 tahun. Dimana umumnya pada usia tersebut gadis belia menikmati masa dewasa awalnya dengan kekasih dan teman-teman, mengejar mimpi dan melakukan hal-hal yang menyenangkan. Ibu Sisil terpaksa tidak melanjutkan pendidikan perguruan tinggi karena keadaan ekonomi kakek nenek yang tidak baik. Tak lama setelah bekerja, keduanya mendesak Ibu Sisil untuk segera menikah.

Akhirnya luka itu diturunkan kepada anaknya, Sisil. Ambisi-ambisi yang tertahan akhirnya keluar ketika Sisil masuk usia dimana ibunya dulu tak dapat menggapai mimpi. Sisil bimbang dan tertekan. Haruskah ia mengikuti keinginan ibunya? Atau lebih baik mengejar mimpi Sisil sendiri tapi dicap sebagai anak yang tidak berbakti?

Sisil ingin sekali ibunya mengerti tentang apa yang diinginkan dirinya. Tidak jarang Ibu Sisil membandingkan SIsil dengan kakak tiri Sisil, mulai dari besar IPK, hasil skripsi, proses sidang, dan lain-lain. Sering pula Ibu Sisil mengatakan bahwa anak temannya sudah begini begitu. Sisil selalu berharap tidak bisakah ibunya sekali saja bertanya pertanyaan-pertanyaan seperti,

“Nak, kamu sebetulnya ingin jadi apa?”

“Nak, apakah kamu jika bekerja dalam bidang ini akan bahagia?”

“Nak, apakah mimpimu itu menyenangkan?”

Hampir tidak mungkin. Dalam keluarga Sisil materi adalah yang utama. Gaji besar adalah sebuah tujuan. Sisil gadis dengan mimpi mimpinya hanyalah angan. Pekerjaan yang disukai Sisil mungkin akan dianggap biasa saja dan bergaji rendah. Sisil yang berpaham agama lebih baik dibanding keluarganya selalu beranggapan bahwa rezeki sudah tertakar. Besar kecilnya rezeki yang turun hari ini adalah dari yang sudah tertakar dari manusia lahir hingga meninggal.

Tak jarang Sisil berkeinginan untuk segera memisahkan diri dari keluarganya, ya, akibat pola pikir yang tidak sama. Pola pikir yang Sisil pikir kurang tepat. Sisil beranggapan dunia hanya tempat sementara, semua akan meninggal. Harta yang dicari hingga jungkir balik tidak akan ada harganya. Bekerja bisa dinilai ibadah jika bukan hanya materi tujuan utamanya.

Sisil sudah kapok untuk berbincang dengan ibunya yang keras kepala. Sisil sempat sakit hati karena dulunya dipandang terlalu fanatik dalam beragama oleh ibunya sendiri.

Hingga sekarang Sisil hanya bisa terus berjalan tanpa arah dan terus menerus merasa tertekan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar