Sisil tiba-tiba menangis. Tak sengaja terlintas dalam benaknya tentang keinginan ibunya. Ibunya seringkali merayu Sisil untuk mencoba kesempatan mendapatkan pekerjaan yang menurut ibunya menjamin masa depan anaknya. Tapi, tunggu dulu. Sisil merasa mempertanyakan sebuah hal yang ia rasa sedikit janggal, “Pekerjaan itu benar mimpiku atau mimpi ibuku?.”
Jauh sebelum ini terjadi, sebetulnya
Ibu Sisil memang beberapa kali menyampaikan tentang mimpinya yang tidak pernah
tergapai. Wajar saja, Ibu Sisil menikah di usia sangat muda. Ya, 21 tahun.
Dimana umumnya pada usia tersebut gadis belia menikmati masa dewasa awalnya
dengan kekasih dan teman-teman, mengejar mimpi dan melakukan hal-hal yang
menyenangkan. Ibu Sisil terpaksa tidak melanjutkan pendidikan perguruan tinggi
karena keadaan ekonomi kakek nenek yang tidak baik. Tak lama setelah bekerja, keduanya
mendesak Ibu Sisil untuk segera menikah.
Akhirnya luka itu diturunkan
kepada anaknya, Sisil. Ambisi-ambisi yang tertahan akhirnya keluar ketika Sisil
masuk usia dimana ibunya dulu tak dapat menggapai mimpi. Sisil bimbang dan
tertekan. Haruskah ia mengikuti keinginan ibunya? Atau lebih baik mengejar
mimpi Sisil sendiri tapi dicap sebagai anak yang tidak berbakti?
Sisil ingin sekali ibunya
mengerti tentang apa yang diinginkan dirinya. Tidak jarang Ibu Sisil
membandingkan SIsil dengan kakak tiri Sisil, mulai dari besar IPK, hasil
skripsi, proses sidang, dan lain-lain. Sering pula Ibu Sisil mengatakan bahwa
anak temannya sudah begini begitu. Sisil selalu berharap tidak bisakah ibunya
sekali saja bertanya pertanyaan-pertanyaan seperti,
“Nak, kamu sebetulnya ingin jadi
apa?”
“Nak, apakah kamu jika bekerja
dalam bidang ini akan bahagia?”
“Nak, apakah mimpimu itu
menyenangkan?”
Hampir tidak mungkin. Dalam
keluarga Sisil materi adalah yang utama. Gaji besar adalah sebuah tujuan. Sisil
gadis dengan mimpi mimpinya hanyalah angan. Pekerjaan yang disukai Sisil
mungkin akan dianggap biasa saja dan bergaji rendah. Sisil yang berpaham agama
lebih baik dibanding keluarganya selalu beranggapan bahwa rezeki sudah tertakar.
Besar kecilnya rezeki yang turun hari ini adalah dari yang sudah tertakar dari manusia
lahir hingga meninggal.
Tak jarang Sisil berkeinginan untuk segera memisahkan diri dari keluarganya, ya, akibat pola pikir yang tidak sama. Pola
pikir yang Sisil pikir kurang tepat. Sisil beranggapan dunia hanya tempat
sementara, semua akan meninggal. Harta yang dicari hingga jungkir balik tidak akan
ada harganya. Bekerja bisa dinilai ibadah jika bukan hanya materi tujuan utamanya.
Sisil sudah kapok untuk berbincang
dengan ibunya yang keras kepala. Sisil sempat sakit hati karena dulunya dipandang
terlalu fanatik dalam beragama oleh ibunya sendiri.
Hingga sekarang Sisil hanya bisa
terus berjalan tanpa arah dan terus menerus merasa tertekan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar